life for share

Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi. (wikipedia)

Berikut beberapa puisi Chairil Anwar, puisi Chairil Anwar tentang cinta atau puisi Chairil Anwar tentang Ibu juga ada di kumpulan puisi Chairil Anwar berikut ini :

    AKU

    AKU

    Kalau sampai waktuku
    ‘Ku mau tak seorang kan merayu
    Tidak juga kau

    Tak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang
    Dari kumpulannya terbuang

    Biar peluru menembus kulitku
    Aku tetap meradang menerjang

    Luka dan bisa kubawa berlari
    Berlari
    Hingga hilang pedih peri

    Dan aku akan lebih tidak perduli

    Aku mau hidup seribu tahun lagi

    Maret 1943

    =====

    Puisi Chairil Anwar : KRAWANG-BEKASI

    Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
    tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
    Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
    terbayang kami maju dan mendegap hati ?

    Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
    Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
    Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
    Kenang, kenanglah kami.

    Kami sudah coba apa yang kami bisa
    Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

    Kami cuma tulang-tulang berserakan
    Tapi adalah kepunyaanmu
    Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

    Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
    atau tidak untuk apa-apa,
    Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
    Kaulah sekarang yang berkata

    Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
    Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

    Kenang, kenanglah kami
    Teruskan, teruskan jiwa kami
    Menjaga Bung Karno
    menjaga Bung Hatta
    menjaga Bung Sjahrir

    Kami sekarang mayat
    Berikan kami arti
    Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

    Kenang, kenanglah kami
    yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
    Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

    (1948)
    Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

    =====

    Puisi Chairil Anwar : DIPONEGORO

    Di masa pembangunan ini
    tuan hidup kembali
    Dan bara kagum menjadi api

    Di depan sekali tuan menanti
    Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
    Pedang di kanan, keris di kiri
    Berselempang semangat yang tak bisa mati.

    =====

    Puisi Chairil Anwar : MAJU

    Ini barisan tak bergenderang-berpalu
    Kepercayaan tanda menyerbu.

    Sekali berarti
    Sudah itu mati.

    MAJU

    Bagimu Negeri
    Menyediakan api.

    Punah di atas menghamba
    Binasa di atas ditindas
    Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
    Jika hidup harus merasai

    Maju
    Serbu
    Serang
    Terjang

    (Februari 1943)
    Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954

    =====

    Puisi Chairil Anwar : PENERIMAAN

    Kalau kau mau kuterima kau kembali
    Dengan sepenuh hati

    Aku masih tetap sendiri

    Kutahu kau bukan yang dulu lagi
    Bak kembang sari sudah terbagi

    Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

    Kalau kau mau kuterima kembali
    Untukku sendiri tapi

    Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

    Maret 1943

    =====

    Puisi Chairil Anwar:  HAMPA

    kepada sri

    Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
    Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
    Sampai ke puncak. Sepi memagut,
    Tak satu kuasa melepas-renggut
    Segala menanti. Menanti. Menanti.
    Sepi.
    Tambah ini menanti jadi mencekik
    Memberat-mencekung punda
    Sampai binasa segala. Belum apa-apa
    Udara bertuba. Setan bertempik
    Ini sepi terus ada. Dan menanti.

     =====

    Puisi Chairil Anwar: DOA

    kepada pemeluk teguh

    Tuhanku
    Dalam termangu
    Aku masih menyebut namamu

    Biar susah sungguh
    mengingat Kau penuh seluruh

    cayaMu panas suci
    tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

    Tuhanku

    aku hilang bentuk
    remuk

    Tuhanku

    aku mengembara di negeri asing

    Tuhanku
    di pintuMu aku mengetuk
    aku tidak bisa berpaling

    13 November 1943

    =====

    Puisi Chairil Anwar: SAJAK PUTIH

    Bersandar pada tari warna pelangi
    Kau depanku bertudung sutra senja
    Di hitam matamu kembang mawar dan melati
    Harum rambutmu mengalun bergelut senda

    Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
    Meriak muka air kolam jiwa
    Dan dalam dadaku memerdu lagu
    Menarik menari seluruh aku

    Hidup dari hidupku, pintu terbuka
    Selama matamu bagiku menengadah
    Selama kau darah mengalir dari luka
    Antara kita Mati datang tidak membelah…

    =====

    Puisi Chairil Anwar SENJA DI PELABUHAN KECIL
    buat: Sri Ajati

    Ini kali tidak ada yang mencari cinta
    di antara gudang, rumah tua, pada cerita
    tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
    menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

    Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
    menyinggung muram, desir hari lari berenang
    menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
    dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

    Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
    menyisir semenanjung, masih pengap harap
    sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
    dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

    1946

    =====

    Puisi Chairil Anwar: CINTAKU JAUH DI PULAU

    Cintaku jauh di pulau,
    gadis manis, sekarang iseng sendiri

    Perahu melancar, bulan memancar,
    di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
    angin membantu, laut terang, tapi terasa
    aku tidak ‘kan sampai padanya.

    Di air yang tenang, di angin mendayu,
    di perasaan penghabisan segala melaju
    Ajal bertakhta, sambil berkata:
    “Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

    Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
    Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
    Mengapa Ajal memanggil dulu
    Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

    Manisku jauh di pulau,
    kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

    1946

    =====

    Puisi Chairil Anwar: MALAM DI PEGUNUNGAN

    Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
    Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
    Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
    Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

    1947

    =====

    Puisi Chairil Anwar: YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

    kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
    menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
    malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

    di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

    aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
    dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
    tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

    tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

    1949

    =====

    Puisi Chairil Anwar: DERAI DERAI CEMARA

    cemara menderai sampai jauh
    terasa hari akan jadi malam
    ada beberapa dahan di tingkap merapuh
    dipukul angin yang terpendam

    aku sekarang orangnya bisa tahan
    sudah berapa waktu bukan kanak lagi
    tapi dulu memang ada suatu bahan
    yang bukan dasar perhitungan kini

    hidup hanya menunda kekalahan
    tambah terasing dari cinta sekolah rendah
    dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
    sebelum pada akhirnya kita menyerah

Puisi Chairil Anwar: NISAN
untuk neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
=====
Puisi Chairil Anwar: TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
=====
Puisi Chairil Anwar: SENDIRI
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
=====
Puisi Chairil Anwar: RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
27 April 1943
=====
Puisi Chairil Anwar: DI MESJID
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
29 Mei 1943
=====
Puisi Chairil Anwar: PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949
=====
Puisi Chairil Anwar: MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
=====
Puisi Chairil Anwar: PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Puisi Chairil Anwar: PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
=====
Puisi Chairil Anwar: KEPADA KAWAN
Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
30 November 1946
=====
Puisi Chairil Anwar: SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya ?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah……….!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal……..!!
Selamat tinggal………..!!
=====
Puisi Chairil Anwar: SIAP SEDIA
Oleh: Chairil Anwar
Kepada Angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras membatu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu.
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalis berhenti,
Tapi sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang menghilang,
Langkahmu nani enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke Bahagia nyata.
Kawan, kawan,
Menepis segar angin terasa,
Lalu menderu menyapu awan,
Terus menembus surya cahaya,
Memancar pencar ke penjuru segala,
Riang menggelombang sawah dan hutan,
Segala menyala-nyala !
Segala menyala-nyala !
Kawan, kawan,
Dan kita bangkit dengan kesedaran,
Memucuk menerang hingga belulang,
Kawan, kawan,
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang !
=====
Puisi Chairil Anwar: KAU BERADA KEMBALI
Oleh: Chairil Anwar
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
(1949)
=====
Puisi Chairil Anwar: RUMAHKU
Oleh: Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu
(April 1943)
=====
Puisi Chairil Anwar: AKU BERADA KEMBALI
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
Air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
Ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
Guruh.
1949,
Chairil Anwar
.
Judul: Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar; Ditulis oleh Admin Ganteng ; Rating Blog: 5 dari 5
Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar
Published by: Admin
Rating: 5
Thanks for reading! Suka dengan artikel ini? Please link back artikel ini dengan code di bawah atau share dengan sharing buttons di atas. Copy paste wajib dengan izin saya, serta menggunakan link sumber seperti di bawah. Gunakan etika. Saya akan berlakukan DMCA COMPLAINT secara langsung tanpa pemberitahuan atas copas tanpa mengikuti ketentuan yg berlaku.